Zonasi

Hello world, baru tahu ada sistem zonasi dalam memilih sekolah. Salah satu alasan diterapkannya sistem ini sangat bagus, dengan bersekolah di zona yang dekat tempat tinggal siswa otomatis akan mengurangi jarak tempuh siswa dengan begitu kemacetan akan bisa dikurangi. Kedengarannya bagus tapi jujur saya belum terlalu percaya efek positif dari niat baik kebijakan ini. 
Aturan sistem ini kemudian di break-down dalam beberapa ketentuan (dan tentunya pengecualian) yang sebenarnya  cukup njelimet.  Apa sih hal keren yang tidak njlimet di negara ini. Hal-hal yang terlihat indah di luarnya sebenarnya penuh dengan kompleksitas akan tetapi aturan seyogyanya tidak boleh menjadi sesuatu yang kompleks. Batas atas sebuah aturan adalah rumit bukan kompleks.
Oke kembali ke masalah zonasi dan kembali saya menengaskan bahwa saya bukan orang yang anti aturan, saya hanya membicarakan dampak-dampak negatif yang kemungkinan terjadi. Lagian, apalah saya ini, hanya penggerutu yang mengomel untuk menentramkan emosi. Tidak usah ditanggapi karna blog ini juga ditakdirkan untuk tidak banyak dibaca. Jujur bagi saya pribadi, saya menilai blog saya monoton dan tidak menarik sama sekali. Menulis bagi saya hanyalah seperti kata-kata Coelho, mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. (Kenapa bagian ini jadi curhat ya).
Dalam beberapa hal kita harus tahu bahwa seringkali kreativitas lahir tidak dalam kondisi acak. Kreativitas bisa juga lahir karena keterbatasan dan karena tantangan. Saya pikir konsep "keseragaman" yang dianut oleh zonasi justru akan menjadi sangat menakutkan bagi lahirnya kreativitas terutama dalam konteks pemikiran ilmiah siswa. Orang-orang cerdas harus berkumpul dengan orang cerdas lainnya untuk saling menantang dan menjadi lebih cerdas. Mereka adalah kelompok elite yang merupakan top 1 percent form the top of 1 percent. Dalam lingkungan yang seragam (dan bertemu orang yang tidak sepadan kepintarannya) mereka cenderung menumpul dan akhirnya menjadi siswa biasa. Saya tidak membicarakan sekolah sebagai institusi dengan bangunan dan sarana pendidikan yang memadai tapi saya membayangkan sebuah tempat lahirnya sebuah kultur untuk menghasilkan generasi kreatif. Andai siapa pun disana merasa sudah adil dalam mendistribusikan semua keperluan yang memadai bagi terbentuknya pendidikan yang layak maka mereka tidak perlu takut akan kemunculan komunitas brilian dalam sekolah. Jujur saya rindu anak bangsa bisa tampil di kancah internasional, tidak hanya dalam sains tapi juga seni budaya. Saya hanya khawatir populasi para kreatif ini akan semakin berkurang karena kita salah memberikan habitat untuk mereka. Saya ingin setiap dari kita melihat anak-anak berbakat ini sama halnya dengan anak berkebutuhan khusus. KIta perlu cara-cara lain untuk menuai limpahan hasil kreatif mereka.
Entah apa yang dikejar kebijakan ini saya juga tidak mengerti karena saya tidak terlalu pintar untuk memahaminya. Saya kemudian memilih membayangkan bagiamana para calon penemu dan pemikir ini kemudian janjian dengan sesama mereka, para calon cendekiawan untuk bertemu di sekolah swasta dan menjadikan sekolah swasta tidak terkenal itu sebagai tempat berseminya bakat-bakat nan brilian dari segala penjuru. Manusia memang terlahir tidak seragam jadi jangan berusaha menyeragamkannya. Saya hanya berkeyakinan ketika setiap sekolah dikelola dengan sama dalam fasilitas yang sama tidak akan ada stigma sekolah favorit. Setelah itu kita hanya perlu menjaring bakat spesial dan mengelompokkannya bersama. 
Akhir kata saya berpendapat bahwa sekolah bukan tentang fasilitas, bukan pula tentang guru akan tetapi sekolah adalah tentang kultur. Hanya saja di tengah pemberontakan pemikiran ini, selaku warga negara yang baik saya selalu berharap kebijakan ini akan menuai hasil yang menggembirakan.
Selamat makan siang.    
     

Comments

Popular posts from this blog

Pilihan

Berbeda

Andai Saja