Gini
Hello world,
saya sebenarnya sedikit enggan menulis artikel ini. Bukan saja karena saya terkait
secara personal maupun profesional akan tetapi
karena kita kiranya harus mengakui bahwa pemahaman saat ini tentang perilaku ketimpangan ekonomi masih dapat
dikatakan jauh dari memadai.
Secara singkat
saya bisa sampaikan bahwa data mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia saat
ini dihitung dan dirilis oleh Badan Pusat Statistik setiap dua kali dalam
setahun sejak tahun 2011. Dari sekian indeks ketimpangan yang ada (anda bisa search di wikipedia tentang general equality index), Rasio Gini
dipilih untuk melihat gambaran umum mengenai bagaimana hasil ekonomi didistribusikan ke seluruh
lapisan masyarakat di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, data ketimpangan
berhasil dirilis hingga level kabupaten atau kota (data untuk level ini hanya
tersedia sekali selama setahun).
Secara
deskriptif dapat dilihat bahwa level
ketimpangan ekonomi terus mengalami kenaikan antara tahun 2000 sampai
tahun 2010. Hingga pada 2010, level ketimpangan di Indonesia masih berada pada
kisaran level di bawah 0,38. Level
ketimpangan ini atau pendeknya kita sebut dengan rasio gini kemudian seperti berosilasi pada rentang antara 0,38 hingga
0,41 pada tahun 2011 hingga 2017.
Sepintas tidak
ada yang perlu dipermasalahkan dengan data ini, tapi coba kita lihat kembali
angka-angka berikut ini. Ketimpangan ekonomi dari tahun 2011 dalam rentang
waktu setahun bisa bergerak cukup drastis. Misalnya di tahun 2011, pada bulan
Maret rasio Gini sekitar 0,41 dan kemudian pada September rasio Gini menjadi
0,38. Pergerakan ini teramati berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang
bergerak cukup linier.
Perubahan rasio
Gini cenderung tidak mengakibatkan perubahan pada klasifikasi ketimpangan
Indonesia. Hanya saja pergerakan yang berfluktuasi (naik turun) ini seringkali
mengundang pertanyaan. Pertanyaan yang menurut saya (mungkin) cukup sering
dilontarkan adalah “Mengapa ketimpangan
ekonomi bisa bergerak cukup fluktuatif
dalam waktu yang cukup singkat atau dengan kata lain distribusi ekonomi
mengalami perubahan yang sangat cepat”?.
Dari asumsi ada
pertanyaan seperti ini saya mencoba membahas mengenai kondisi ketimpangan yang
ada saat ini. Pertama, indikator ketimpangan seyogyanya tidak dilihat secara
jangka pendek melainkan dalam jangka menengah atau bahkan jangka panjang (5
sampai 10 tahun). Ketimpangan merupakan
indikator yang menggambarkan posisi dan tidak berfokus pada fluktuasi. Di sisi
lain osilasi yang terjadi ini
kemungkinan karena pergerakan level konsumsi yang menjadi dasar penghitungan
rasio Gini kiranya sudah cukup stagnan.
Gini rasio
sangat ditentukan oleh ketimpangan dalam kelompok dan antar kelompok. Ketimpangan Indonesia misalnya tidak hanya
ditentukan oleh ketimpangan penduduk di wilayah Jakarta, Bali dan provinsi
lainnya tetapi juga oleh perbedaan ketimpangan antara wilayah-wilayah tersebut.
Dengan kata lain Gini Rasio Indonesia tidak sepenuhnya merupakan rata-rata Gini
Rasio Provinsi yang ada di Indonesia.
Sementara itu
permasalahan mengenai data Gini Rasio yang berosilasi kemungkinan terjadi
karena beberapa hal. Kondisi pertama adalah pendekatan distribusi ekonomi
dengan menggunakan data pengeluaran penduduk. Ada alasan filosofis sekaligus
psikologis mengapa BPS menggunakan data pengeluaran dan bukannya pendapatan.
Masyarakat kita, di Indonesia cenderung lebih jujur apabila ditanya tentang
pengeluaran ketimbang pendapatan mereka. Hal ini logis namun ada batasnya.
Pertama, proporsi pendapatan dibandingkan pengeluaran cenderung akan menurun
seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dengan kata lain kenaikan pendapatan
sebanyak 10 kali tidak selalu diikuti dengan kenaikan pengeluaran dalam
persentase yang sama dan cenderung di bawah itu. Sejalan dengan itu osilasi
pada Gini Rasio memberikan gambaran bahwa persentase level konsumsi (terhadap
pendapatan) cenderung sudah stagnan untuk rata-rata penduduk Indonesia.
Terkait dengan
hal ini, kiranya kita dapat menarik logika sederhana sebagai berikut. Apabila
tingkat kenaikan pengeluaran lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kenaikan pendapatan
maka sangat mungkin sekali tingkat ketimpangan ekonomi akan jauh lebih tinggi
jika dihitung melalui pendapatan. Tetapi sekali lagi untuk memperoleh data
mengenai pendapatan tidak mudah. Salah satu alasannya mungkin adalah masih
tingginya msyarakat kita yang belum menggunakan layanan perbankan serta alasan
psikologis yang disebutkan sebelumnya.
Padahal
sejatinya, untuk menghitung ketimpangan yang sebenarnya ada faktor lain yang
layak mendapat perhatian yaitu pendapatan yang bukan hanya berasal dari balas
jasa tenaga kerja (upah atau gaji) tetapi dari balas jasa lain seperti halnya
sewa dan surplus usaha (termasuk dari saham dan sejenisnya). Kedua jenis
pendapatan ini sangat tidak terlihat dan tidak mudah dihitung. Tidak mudah
dihitung karena tidak semua pelaku usaha memiliki laporan keuangan, bankable dan ketaatan membayar pajak
yang sama. Terkait hal terakhir, seorang ekonom Eropa pernah mengusulkan
menghitung ketimpangan berdasarkan pajak yang dibayarkan ke negara. Oleh
karenanya apabila mengukur ketimpangan ekonomi dari seluruh variabel ini,
niscaya ketimpangan akan jauh lebih tinggi lagi.
Tentunya tinjauan ketimpangan yang saya
sampaikan ini tidak terlalu mendesak dibandingkan dengan kemiskinan maupun
pengangguran. Akan tetapi masalah ketimpangan ini kiranya akan mampu
menimbulkan fenomena marjinalisasi yang lebih masif dibandingkan dengan dua
masalah tadi. Karena kemiskinan dan pengangguran seyogyanyan adalah masalah
marjinalisasi selektif (dirasakan sedikit orang) sementara ketimpangan adalah
marjinalisasi skala global yang sebenarnya dirasakan semua orang namun
menguntungkan lebih sedikit orang.
Comments
Post a Comment