Kintamani

Hello world
Selepas pulang kerja di sore hari yang dingin, saya berkendara menyusuri jalan-jalan sepi dan berkabut di Kintamani. Jaket semi kulit yang saya kenakan ternyata tidak cukup kuat menahan hawa dingin yang dibawa serta angin malam gunung Batur. Karena hujan, saya kemudian memutuskan berhenti sejenak di sebuah kedai kopi sambil merenungkan kembali hasil napak tilas saya sehari penuh di wilayah tua nan penuh misteri ini. 
Tujuan awal saya adalah pengamatan tentang struktur masyarakat di beberapa desa kuno di sekitar Terunyan tetapi pikiran saya berbalik arah dan justru menuntun saya menulis tentang pertanian.
Kintamani atau katakanlah Bangli adalah wilayah yang sebagian besar bergantung pada pertanian dan juga sebagiannya lagi dari pariwisata. Persepsi mengenai petani Kintamani adalah petani kaya yang mempunyai lahan kopi, jeruk berhektar-hektar. Belum lagi pikiran orang luar tentang petani bawang di daerah Songan yang ibaratnya kesulitan menghabiskan uang hasil panen. Akan tetapi dengan kondisi ini yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa Bangli sulit untuk menjadi kabupaten yang kaya padahal lebih dari 70 persen Bangli berada di Kintamani?
Menurut saya jawabannya adalah kondisi pertanian itu sendiri. Pertanian saat ini bagi saya adalah lapangan usaha yang paling memiliki ketergantungan terhadap pemerintah. Dengan pemerintah tidak bisa membeli hasil pertanian di atas harga pasar, pemerintah harus memberikan subsidi ke petani. Masalah lainnya adalah pajak atas lahan pertanian relatif sangat kecil sehingga tidak bisa membantu meningkatkan pendapatan daerah secara signifikan. Tetapi problema utamanya adalah pemerintah tidak bisa memungut pajak atas penjualan hasil pertanian. Transaksinya tidak pernah tercatat meskipun usaha pertanian dalam skala tertentu dikelola secara profesional. Akibatnya terhadap ekonomi wilayah adalah sangat jelas. Akan terlahir petani-petani kaya dari wilayah itu namun akan tercipta daerah yang tidak bertambah kaya karena kurangnya pendapatan daerah. Petani mendapat subsidi saat produksi namun saat panen tiba petani memiliki preferensi untuk menentukan lokasi dan pembeli hasil pertanian. Selain itu yang kiranya cukup mendapat perhatian adalah mereka tidak memiliki keharusan membayar pajak. Aneh bukan???? Tapi itulah adanya. Mungkin kondisi ini dapat diakali dengan membuat pusat perbelanjaan untuk mencegah uang keluar wilayah tersebut tapi di sisi lain akan memicu tingginya impor dan perubahan kesetimbangan dalam nilai uang terhadap harga barang. Mungkin solusi lain adalah membeli hasil pertanian dengan harga lebih mahal dan tidak memberikan subsidi. Tetapi untuk kondisi ini pemerintah harus memiliki solusi lanjutan seperti mendirikan industri pengolahan untuk menampung hasil pertanian saat panen tiba sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan stok yang berakibat pada fluktuasi harga. Sebagai contoh pemerintah membangun pabrik jus jeruk yang dikemas khusus untuk menampung produksi dari Kintamani. Dengan sedikit teknik pengemasan jeruk kintamani akan bertahan lebih lama dan memiliki nilai jual yang lebih mahal.
Sepertinya sekian saja obrolan dalam tulisan ini, mumpung hujan sudah reda saya akan kembali melanjutkan perjalanan saya. Terima Kasih.

Comments

Popular posts from this blog

Pilihan

Berbeda

Andai Saja