LGBT

Hello world, di tulisan ini saya ingin bercerita tentang LGBT, sebuah kelompok atau katakanlah komunitas yang tidak menentang hubungan sesama jenis (bahkan hingga pernikahan) serta termasuk di dalamnya yang rela menjalani operasi kelamin demi perubahan identitas. 
Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah pemandangan yang saya lihat dalam perjalanan pulang dari Singaraja ke Denpasar. Karena hujan sudah reda, saya memutuskan untuk melepas mantel saya dan meneduh sebentar di sebuah warung kopi di daerah Baturiti. Jujur saja, perhatian saya kala itu terbagi dua. Sejujurnya saya ingin menikmati pemandangan indah bukit Pacung yang sedang diselimuti kabut sore selepas hujan mumpung saya tanpa teman. Tetapi yang terjadi adalah saya diam-diam memandangi sepasang tamu asing, para pria tampan dengan perut rata seperti papan cucian yang saling bercanda mesra layaknya sepasang kekasih (pria wanita) yang sedang jatuh cinta. Ketika mereka bergegas meninggalkan warung kopi itu, barulah rasa ingin tahu saya merangsek dan kemudian mengajak bertualang dalam khayalan tanpa kiblat mengenai perasaan aneh semacam itu.
Tidak ada yang terpaksa diantara mereka, tidak ada pula perasaan harus malu-malu karena mungkin tempat mereka saat itu memang menerima mereka tapi tidak dengan hubungan" yang terlihat aneh" itu. Sesungguhnya saya merasa takjub, kenapa saya yang sama-sama manusia seperti mereka bisa memiliki preferensi seksual yang sedemikian berbeda. Preferensi yang kemudian mau tidak mau, suka tidak suka akan berujung pada salah satu keputusan yang paling radikal manusia yaitu memilih untuk tidak bereproduksi secara langsung. Kenapa bisa manusia (Homo sapiens) yang baru mendiami bumi dalam beberapa puluh ribu tahun bahkan mengenal kehidupan modern baru hanya beberapa ribu tahun, sebagiannya bisa mengalami, katakanlah evolusi seksual dalam periode yang terhitung cukup cepat. Evolusi yang mengalahkan moyangnya yang telah mendiami bumi dalam kurun waktu jutaan tahun.  
Pikiran saya kemudian berkelana membayangkan para sapiens purba yang bersenggama hanya untuk melahirkan keturunan mereka. Entah kapan mereka mengenal pasangan tetap sehingga kaum alpha tidak lagi bisa seenaknya bersetubuh dengan betina-betina di kelompok mereka. 
Pengelanaan ini tidak berhenti sampai disitu, saya  kemudian membayangkan zaman medieval (abad pertengahan). Masa-masa kegelapan yang kemudian diikuti dengan periode pencerahan yang bahkan di beberapa titik tahun itu kita menyebutnya sebagai tahun keajaiban. Pikiran kita yang abadi mengkhayalkan situasi dimana pernikahan atau katakanlah senggama tidak lagi untuk bereproduksi. Hubungan seksual dan emosional bahkan dirancang untuk mencapai tidak hanya kepuasaan tapi juga gengsi dan kekuasaan.
Beberapa abad kemudian tingkah polah kita akan masalah seksual dan emosional perlahan berubah meskipun motif-motif dorongan seksual lama masih terbawa. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, preferensi ini bahkan bisa dikatakan berbalik arah. Kita menyukai sesama kita. Mungkin hanya kita yang baru tahu. Mungkin memang hanya karena paradigma ini baru mengemuka. Atau mungkin inilah salah satu bentuk deviasi evolusi seksual kita. Jujur saya tidak tahu penyebabnya.
Sebagian artikel yang saya baca menuliskan bahwa banyak anggota dari komunitas ini yang mengalami masa lalu seksual yang suram, ketidakpercayaan pada lawan jenis serta segala bentuk distorsi negatif pada historis panjang kehidupan mereka. Itulah yang membuat mereka berpaling.
Tapi apa iya, gangguan dalam beberapa tahun menyulut perubahan preferensi ini. Tidakkah distorsi itu hanya getaran yang menstimulasi apa yang sudah lama ada dalam gen kita.  Bahwa perilaku menyukai sesama jenis ini adalah bagian dari gen kita yang tersembunyi seiring evolusi manusia.
Tetapi apapun itu, bahasan selanjutnya adalah apakah kita membiarkannya atau justru melarangnya. Sekali saya tidak dalam kapasitas mendukung salah satu pilihan tersebut. Menyukai sesama adalah preferensi dan ini adalah pilihan. Menghilangkan pilihan berarti menghancurkan kehidupan seseorang setidaknya jika mereka melakukannya tanpa motif jahat atau skenario konspirasi lainnya.
Saya berpikir jangan-jangan ini adalah rupa seleksi alam untuk mengurangi populasi manusia. Dengan tidak menikah berarti tidak bereproduksi, tidak ada reproduksi tidak ada kelahiran. Penduduk bumi berkurang tanpa perlu gauntlet 5 biji permata Thanos yang maha dashyat. Mengurangi populasi tidak dengan perang, berbagi sumber daya tanpa memperebutkan.
Lalu apa?
Ada cara bijak yang bisa diberlakukan secara universal. Negara-negara atau institusi yang ingin menyetujui hak-hak komunitas ini tentunya harus memberi konsekuensi demi keseimbangan dunia. Para pasangan ini katakanlah apabila ingin diakui secara legal harus mau mengadopsi misalnya lebih dari satu anak dari negara miskin dan tentu saja memperlakukan mereka dengan layak seperti anak sendiri. Bagi saya ini adalah cara sambung rasa terbaik, kita tidak hanya akan mendiami bumi dengan populasi lebih sedikit tetapi juga memberi kesejahteraan yang layak bagi sebagian sesama kita yang belum seberuntung secara materi seperti kita. Dengan transfer ekonomi seperti ini niscaya kita bisa lebih lama tinggal di bumi tercinta ini. Sekian dan terima kasih.


  

Comments

Popular posts from this blog

Pilihan

Berbeda

Andai Saja