Fiksi

Hello World, untuk kali ini saya mencoba mengomentari pendapat seorang "ahli" yang mengatakan bahwa kitab suci adalah sebuah karya fiksi. Ucapannya sempat membuat gempar karena dilontarkan di salah satu diskusi tersohor yang ditayangkan oleh TV swasta. Sebagian orang termenung karena pikirannya sibuk mencari tahu maksud pernyataan itu, sementara sebagian lagi menyerang karena berpikir bahwa ini adalah bahan yang enak untuk santapan politik.  Tidak sedikit yang seolah sok memahami ucapan ini agar tidak terlihat bodoh. 
Saya tertegun, jujur bukan karena ucapannya. Ucapan ini biasa saja dan tidak menggugah. Yang menjadi perhatian saya adalah betapa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi bahan perdebatan malah menjadi sumber pertikaian. Kalau seperti ini adanya sungguh mudah sekali menghancurkan negeri ini ,karena di dalamnya ternyata masih dihuni oleh sapiens-sapiens yang keinginanya hanya menguasai bumi pertiwi. Kita hanya menginginkan semua orang sepaham dengan kita, yang tidak sepaham tidak layak mendapat tempat.
Tetapi bagian lain yang tidak kalah menarik justru datang dari orang atau bagian yang sama ini. Kalau kita memperdebatkan kitab suci dengan fiksi berarti masih ada sesuatu yang bermasalah dengan pemahaman dan peresapan kita terhadap kedua hal tadi. Jika dilihat dari makna kekinian dan kebendaanya kitab suci akan terlihat seperti fiksi. Ini memang terjadi karena kita tidak bisa membuktikan segala sesuatu yang diceritakan oleh hal ini, apalagi di berbagai bagian kitab ini menceritakan sesuatu yang sangat lampau. Kitab suci mendefinisikan singularitas dengan cara yang berbeda dari yang disajikan oleh pengetahuan. Dan tentunya tidak ada satupun yang dapat memastikan tentang benar dan salah dari kedua hal ini.
Kemudian diceritakan mengenai kimia psikis yang sama antara membaca novel fiksi dan kitab suci. Fiksi menuntuk naluri (atau emosi) serta logika. Kita tidak akan menikmati novel kalau alurnya tidak logis dan berhenti membaca kalau naluri kita sudah mengetahui akhir dari novel tersebut. Hal ini berbeda dengan cara kerja interaksi kitab suci dengan jiwa kita. Pemahaman mengenai kitab suci meleburkan logika dan emosi. Kita harus melebur keduanya demi membangkitkan sesuatu paling tinggi yang dimiliki oleh diri manusia yaitu kesadaran (consciusness). Kesadaran tentang keberadaan kita sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa termasuk sebagai penghuni alam ini yang tidak sendiri.
Ada dua hal berbeda yang ingin dicapai oleh kedua hal tadi. Novel mungkin akan menggerakkan kita pada tindakan tapi kitab suci menhantarkan kita pada kesimpulan. Jadi perkara personal jika membaca fiksi masih sama reaksinya dengan membaca kitab suci. Novel dimulai dengan keingintahuan sementara kitab suci dimulai dengan keyakinan. Urusan tercapai tidaknya pada kesadaran itu juga masalah pribadi. Kita suci adalah penghantarnya, bukan buku teks wajib yang harus dibaca. Seseorang dengan kesadaran luar biasa mungkin terlahir sebagai buta aksara. Seperti yang sering diwartakan bahwa "seseorang yang merasakan sama antara suka dan duka, hilang dan datang, maka orang itulah yang pantas hidup abadi". 
   


Comments

Popular posts from this blog

Pilihan

Berbeda

Andai Saja